Politik Uang Sudah Membudaya
Tidak ada uang, sulit menang. Adagium ini sepertinya menjadi jamak dalam setiap pesta demokrasi legislatif dari presiden, gubernur, bupati dan walikota di Indonesia.
Wartawan: Amran/MK
KONDISI kekinian yang terjadi saat ini adalah para kandidat yang akan bertarung untuk menduduki kursi kekuasaan, rela merogoh kantong hanya untuk membeli suara pemilih. Parahnya lagi, pemilih menganggap ini merupakan sebuah budaya yang selalu ada dalam setiap even pesta demokrasi. Tak heran, kandidat berani membayar untuk membeli hak konstitusional pemilih.
Hal ini yang diutarakan DR Teguh Yuwono, pakar politik asal Universitas Diponegoro (Undip) Semarang saat jadi narasumber dalam Seminar Nasional bertema Kepemimpinan Pemda di Persimpangan Jalan yang dihelat FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Sabtu (17/12).
“Jika pemilih meyakini bahwa money politics atau politik uang adalah sebuah budaya dalam setiap even pesta demokrasi, maka kiamatlah. Sebab itu merupakan kesalahan dunia akhirat,” kata Teguh Yuwono.
Menurutnya, hal semacam itu sudah sepatutnya dihilangkan. Jangan sampai, ini meracuni pikiran karena dampaknya pasti sangat besar.
“Pada intinya jangan sampai money politics dijadikan pemakluman. Ini akan membuat kita lemah,” paparnya.
Untuk bisa merubah ini, Teguh Yuwono mengaku tentu memerlukan waktu yang tidak sedikit. Paling tidak 15-20 tahun. Hal ini dimulai dari beberapa langkah seperti sistem yang diperbaiki, regulasi yang dipertegas dan pendekatan kultur. “Kita harus bisa menciptakan gerakan anti money politik. Dan ini bisa dimulai dari kampus sebagai generasi penerus,” ujar Teguh Yuwono.
Ia mencontohkan, di tempat ia mengajar, menerapkan gerakan malu untuk menitip absen kepada para mahasiswa. Hal ini, lanjut Sarwono merupakan langkah awal yang harus dibangun.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kalsel, Mahyuni tidak menampik jika dua kabupaten di Kalsel yakni Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) dan Barito Kuala (Batola), akan melaksanakan even pesta demokrasi memang rawan akan money politics.
“Sosialisasi terus kami laksanakan. Agar pemilih ataupun pasangan calon bisa mengetahui ada sanksi bagi si penerima ataupun pemberi,” jelasnya.
Sementara itu, Asisten Bidang Pemerintahan Kalsel, Suhardjo memaparkan salah satu poin penting yang dibahas dalam seminar ini adalah bagaimana merekrut pemimpin ke depan bebas dari money politics.
“Kalau memilih pemimpin tentu awalnya dari parpol. Paling tidak parpol tidak membebankan biaya tertentu kepada calon yang mereka usung,” imbuhnya.()