Bahan Baku Utama Sangat Tergantung Daerah Lain

Melihat Eksistensi Pengolahan Jaring dan Lalaan (Bagian 4-habis)

Pengolahan jaring (jengkol) dan lalaan yang menjadi industri rumahan mayoritas warga di dua desa di Kecamatan Astambul; Desa Pingaran Ilir dan Pingaran Ulu berlangsung temurun dan begitu ‘alami’, alias tanpa campur tangan pemerintah.

Catatan: Rudiyanto

KENDATI faktanya, campur tangan pemerintah tentu diperlukan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah daerah pada warganya. Juga keberpihakan pada sebuah kearifan lokal dan kekhasan daerah. Karena jaring dan lalaan olahan dari Desa Pingaran Ilir dan Pingaran Ulu, menjadi salah satu penanda yang tak ada di daerah lain.

Uluran tangan pemerintah itu paling tidak untuk menjamin ketersediaan bahan baku, yang saat ini dinilai para pengolah jaring dan lalaan kian sulit, pun dengan harga selangit.

Jaring misalnya, warga mesti bergantung pada pasokan dari luar Kabupaten Banjar. Kota Baru dan HSS menjadi dua daerah yang mendominasi pasokan jarring mentah. Pun dengan harga yang saat ini tak dapat dikatakan murah. Rp170 ribu – Rp200 ribu per kaleng, atau setara dengan 20 liter, atau 14 kilogram.

Begitu pula kelapa yang menjadi bahan baku utama mengolah lalaan yang saat ini bergantung pada pasokan kepala dari luar Kabupaten Banjar. Juga dengan harga yang tak dapat dikatakan murah, Rp3.500 per biji. Padahal untuk menghasilkan lalaan sebanyak 14 kilogram, H Syahrawi, salah seorang pengolah jaring dan lalaan di Desa Pingaran Ilir, Astambul, memerlukan 150 butir kelapa.

“Jaring dan kelapa saat ini bergantung pada pasokan dari luar daerah karena kian sulit didapat. Banyak pohon jaring dan kelapa yang ditebang untuk dijadikan papan,” ujar H Syahrawi.

Melihat fakta itu, industri rumahan pengolahan jaring dan lalaan bukan tidak mungkin suatu masa akan hilang seiring bahan baku yang kian sulit didapat.
Meski begitu, Dondit Bekti, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Banjar tetap optimis industri pengolahan panganan jaring dan lalaan akan tetap langgeng. Kendati benar tak sedikit pohon jaring yang telah tumbang, semangat menanam kembali pohon jaring warga tetap ada.

Disinggung pengambangan dan penanaman pohon jaring skala besar di bawah pengawasan Dinas Perkebunan dan Peternakan, Dondit Bekti menyampaikan tak mungkin dapat dilakukan. Itu karena jaring bukan komoditi unggulan untuk dikembangkan.

Kendati faktanya diakui Dondit, harga jual jaring saat ini mencapai Rp200 ribu per kaleng, setara dengan 20 liter atau 14 kilogram. “Bukan komodisiti unggulan. Jadi tidak mungkin dikembangkan dengan pola perkebunan. Namun jaring bagi masyarakat lokal sudah sangat lekat. Jadi dengan sendirinya, jaring tetap akan ditanam warga,” ujar Dondit optimis.***