Kelenteng Soetji Nurani yang Kental Arsitektur Tiongkok
Menengok Tradisi Imlek di Kalimantan Selatan (1)
Meskipun didominasi warga muslim, toleransi umat beragama di Banjarmasin sangat terjaga dengan baik. Salah satu simbol itu yakni Kelenteng atau Tempekong, yang hingga saat ini berdiri tegap, sebagai salah satu dari bagian sejarah Banjarmasin.
Catatan: Hendra Riffani, Banjarmasin
Ada dua Kelenteng atau Tempekong di kota Seribu Sungai. Pertama Klenteng Soetji Nurani di Jalan Kapten Pierre Tendean dan Kelenteng Karta Raharja atau Po An Kiong di Jalan Niaga Timur nomor 45, Banjarmasin.
Dari segi arsitektur bangunan, baik Kelenteng Soetji Nurani dan Po An Kiong yang berdiri sejak 1898 Masehi, ternyata sangat memperhatikan aspek Feng Sui, dalam penempatan sebuah bangunan.
“Mengapa Kelenteng Soetji Nurani berdiri dekat dengan sungai, bukan sebuah kebetulan. Jenderal The Sin Yoe dan Ang Lin Thay, yang kala itu menginjakkan kaki di Banjarmasin, membangun kedua Kelenteng ini dengan perhitungan yang teramat tepat atau dikenal dengan Feng Sui,” ucap menurut Pengurus Kelenteng Soetji Nurani, Tiono Husin kepada Media Kalimantan.
Klenteng Po An Kiong sebut Tiono Husin, dibangun beberapa bulan lebih awal dibanding Kelenteng Soetji Nurani.
Awalnya, kedua Jenderal China itu membangun Kelenteng PO An Kiong juga di tepian Sungai Martapura, tepatnya dekat Pasar Harum Manis. Namun karena ada musibah kebakaran, Kelenteng PO An Kiong dibangun di lokasi yang ada saat ini di Jalan Niaga.
Sementara Kelenteng Sotji Nurani, dari awal dibangun lebih dari satu abad silam, tetap berlokasi di muara Jalan Veteran, tepat menghadap Sungai Martapura.
Sejarah eksistensi masyarakat Tionghoa di Banjarmasin yang datang memanfaatkan jalur sungai, bisa digambarkan dengan berdirinya Klenteng Soetji Nurani yang kental dengan arsitek Tionngkok.
“Dominasi warna merah dan kuning, menjadi salah satu ciri khas warga Tionghoa. Tradisi ini tetap dipertahankan hingga saat ini,” terangnya.
Kelenteng Sotji Nurani sangat menarik untuk dikunjungi. Selain pola penataan ruang, struktur bangunan dan ornamennya yang begitu khas, Kelenteng Suci Nurani hingga kini tetap mempertahankan keindahan arsitektur yang melekat di berbagai sudut.
Arsitektur bangunan Kelenteng Suci Nurani cenderung bergaya China dan menerapkan prinsip Feng Shui. Semua nampak dihitung dengan tepat, sehingga menimbulkan kesan yang sangat indah dalam hal arsitek bangunan.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut bangunan yang mempunyai makna-makna tertentu yang menerapkan prinsip keseimbangan dalam Feng Shui. Sumber air sebut Tiono Husin, seperti sungai dan laut, dalam salah satu cabang ajaran Tri Dharma yakni Hong Soo diyakini membawa ketenangan.
Sehingga semua bangunan yang menghadap ke sumber air sebut saja sungai, oleh masyarakat Tionghoa diyakini berimbas positif, karena akan mendapatkan energi alam.
“Dalam Bahasa Mandarin Honh artinya angin, sementara Sui bermakna air, Menurut kepercayaan kami, ketika membuat bangunan atau kelenteng harus memenuhi kedua unsur ini, yaitu lokasi yang banyak angin dan airnya,” bebernya.
Tidak hanya itu, dari segi arsitektur bangunan, Klenteng ini ungkap Tiono mirip dengan arsitek bangunan istana raja. Sehingga ada kepercayaan, siapapun yang beribadah ditempat ini, diharapkan kehidupannya terus membaik serta doa akan cepat terkabul,” terangnya.
Kelenteng Sotji Nurani nyatanya juga memiliki keunikan yakni terdapatnya cukup banyak pintu, yang melambangkan simbol kedamaian hidup umat beragama.
“Siapa saja apapun agama dan kepercayaannya boleh masuk ke Kelenteng ini. Ini sebuah simbol toleransi umat beragama yang selalu terjaga,” sebutnya.
Lantas apa fungsi utama Kelenteng bagi warga Tionghoa? Salah satu yang paling utama adalah sebagai tempat berdoa. Apalagi kata pria yang sudah 20 tahun lebih ini menjadi pengurus Kelenteng Sotji Nurani, jelang Imlek, warga banyak yang datang dan berdoa di sini, sehingga rutinitas membersihkan Kelenteng terus dilakukan, termasuk memasang sejumlah ornamen seperti lampion berwarna merah di halaman Kelenteng.
“Rutinitas tiap tahun yakni membersihkan Kelenteng. Tahun ini kami menggelar perayaan Imlek dengan sederhana namun penuh makna,” katanya.
Imlek dan Kelenteng menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan bagi masyarakat Tionghoa. Harapan dan doa agar tahun depan diberikan keberkahan hidup yang lebih baik, rezeki yang berlimpah, dan kesehatan, menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap perayaan Imlek.
Memeriahkan perayaan Imlek tahun ini, juga direncanakan pawai Barongsai di sekitar kawasan Tempekong dan disejumlah titik di Banjarmasin.()