Getek Penyeberangan yang Kehilangan Pamor
Nasib Transportasi Tradisional di Banjarmasin (Bagian 2)
Pamor getek seolah hilang saat pembangunan jembatan RK Ilir Kota Banjarmasin selesai di era Walikota Yudhi Wahyuni, 15 tahun silam. Kini hanya tinggal satu lagi jasa penyeberangan tradisional yang masih bertahan.
Catatan: Budi Setiawan, Banjarmasin
BERTAHAN: Masyarakat yang masih setia menggunakan jasa getek untuk menyeberangi sungai
Dulu, saat model transportasi air dan infrastruktur belum berkembang, getek penyeberangan bisa jadi memegang peran cukup penting. Keberadaannya menjadi sangat vital bagi mobilitas masyarakat di Banjarmasin.
Maka tak heran, jika profesi sebagai juru penyeberangan getek masih banyak ditekuni. Namun saat ini, sudah sangat langka! Salah satu jasa penyeberangan tradisional yang sudah hilang adalah penyeberangan Getek Telawang yang dulunya berada tepat di depan kantor Walikota Banjarmasin, juga di batas kelurahan Pekauman Kecamatan Banjarmasin Selatan.
Getek penyeberangan yang dulunya sangat terkenal dan jadi jasa penyeberangan andalan masyarakat kota Banjarmasin untuk menyelesaikan urusan administrasi ke pemerintahan sejak tahun 90-an kini terbengkalai.
Kunci gembok karatan yang terpasang di pintu yang biasa menjadi loket untuk membayar jasa penyeberangan, menunjukkan tempat itu sudah lama tak terurus. Pamornya seolah hilang saat pembangunan jembatan RK Ilir Kota Banjarmasin selesai di era Walikota Yudhi Wahyuni, 15 tahun silam.
Kini hanya tinggal 1 lagi jasa penyeberangan tradisional di Kota Banjarmasin yang masih bertahan. Yakni di antara Jl Sei Jinggah dan Jl Sei Bilu Banjarmasin.
Mahrani, yang masih setia berprofesi sebagai pengayuh getek kini sudah berusia 54 tahun. Suami dari Raudatul Jannah tersebut masih setia mengayuh perahunya untuk menyeberangkan masyarakat, serta anak anak sekolah yang masih memilih menggunakan jasanya.
Usaha jasa penyeberangan perahu getek tersebut dilanjutkannya setelah sebelumnya dua pengayuh getek yakni Ijay dan Herman meninggal dunia.
Mahrani mengaku, meskipun pekerjaannya hanya sebagai seorang pengayuh getek, namun mampu menghidupi 12 anak-anaknya. “Walaupun hasilnya tidak sebanyak orang lain, namun kenyataanya pekerjaan saya inilah yang mampu menyekolahkan anak serta menghidupi istri dan keluarga,” bebernya.
Mahrani tak menjalankan pekerjaan itu seorang diri. Ia harus bergantian dengan Jubai, pemilik kapal penyeberangan yang lebih besar dari miliknya. “Kapal Feri mini milik Jubai beroperasi sejak pagi hingga siang hari sementara saya baru bisa bekerja mulai pukul 3 hingga jam 10 malam,” ucapnya.
Mahrani menjelaskan, hal tersebut sudah menjadi kesepakatan mereka. Dalam seharinya, ia menyeberangkan 40-60 orang, dengan tarif Rp 2.000 persekali menyeberang. “Saat masih ada karcis, tarif per orang dikenakan biaya Rp 500-1.000,” terang pria yang sudah memiliki 10 orang cucu tersebut.
Meskipun memasang tarif Rp 2.000, namun untuk pelajar dirinya lebih memilih menerima pemberian seikhlasnya. “Anak anak sekolah itu ada yang memberi Rp 500 ada juga Rp 1000. Tapi juga kadang Rp 2000 karena mereka iba melihat usaha saya,” tukasnya.
Selain sebagai pengayuh getek, Mahrani dalam waktu luangnya juga memiliki sambilan berdagang buah. “Saat saya sedang berdagang buah maka anak saya Muhammad Adi, dan cucu saya Ridha, yang menggantikan tugas saya menyeberangkan warga,” jelasnya.
Kini kondisi penyeberangan tradisional yang hanya mampu menyeberangkan maksimal 4 orang penumpang tersebut kondisinya makin terancam punah dengan terus bertambahnya moda transportasi darat dan sarana jembatan.()