Demi Bertahan, Pengusaha Kapal Harus Ikhlas Berbagi Penumpang
Nasib Transportasi Tradisional di Banjarmasin (Bagian 4 Habis)
Kebijakan pemerintah terkait revitalisasi sungai kiranya diharpakn juga menyentuh aspek transportasinya. Sehingga, denyut Banjarmasin sebagai kota Seribu Sungai bisa kembali.
SEPI: Banyak transportasi sungai di Banjarmasin yang kini ditinggalkan warga Seribu Sungai.
Catatan: Budi Setiawan, Banjarmasin
Para pengusaha kapal angkutan sungai yang masih bertahan, mengeluh terkait semakin langkanya penumpang. Melihat kapal terombang-ambing di dermaga dan hanya terjemur matahari setiap hari, merupakan potret nyata nasib transportasi sungai di kota yang berjuluk Seribu Sungai ini.
Betapa tidak, dulu mereka memang memegang peran cukup fital. Mulai urusan bisnis, pelesiran, ke pasar, hingga sekolah, semua dapat mereka layani. Akativitas dermaga dan lingkungan sekitar pun nampak hidup. Baik dengan adanya transaksi perdangan atau pun sekadar menjual makanan.
Sungai Kelayan yang dulunya setiap harinya sangat ramai dan padat dilalui oleh perahu besar atau kelotok kini hanya seperti sungai mati karena jarangnya dilalui. Badriansyah, salah satu pengusaha kapal motor di Banjarmasin mengungkapkan, dulu ia mampu menarik penumpang setiap hari. Tapi kini hanya bisa menarik penumpang 2 kali seminggu karena harus bergantian dengan pengusaha kapal lainnya untuk berbagai rejeki.
“Mau tidak mau dan suka tidak suka begitulah keadaannya. Dan kami sesama pengusaha kapal harus saling toleransi antar sesama profesi menyikapi penumpang yang sangat sepi,” ujarnya.
Senada diungkapkan Jainudin, pemilik dari usaha Longboat antar provinsi Kalsel-Teng yang biasa mangkal di dermaga pasar ujung murung Banjarmasin. Saat ini usaha transportasi sungai yang dulu sempat menjadi tumpuan hidup keluarganya. Kini bukanlah sebagai pekerjaan utama, hal ini dikarenakan langkanya penumpang yang menggunakan jasanya.
“Saya sekarang tidak bisa setiap hari membawa kapal, selain karena jarang ada penumpang, biaya operasional untuk ke kota Banjarmasin cukup tinggi, dan tidak sebanding dengan hasil yang saya dapat saat menjalankan kapal,” ungkapnya.
Jainudin menambahkan, kondisi ini mulai dirasakan pada tahun 2000 lalu saat infrastruktur jalan antar provinsi sudah terbuka dan perkebangan transportasi darat terus melesat.
“Hanya keajaiban yang bisa mengembalikan kondisi kami semula. Untuk bertahan hidup, kami hanya bisa mencari alternatif pekerjaan lain, baik sebagai buruh angkut ataupun petani borongan,” tandas pria yang sudah 20 tahun berprofesi sebagai supir kapal ini.
Saat ini sungai mendapat perhatian paling besar dari Pemkot Banjarmasin, berdasarkan RPJMD yang telah disusun dalam beberapa tahun ke depan. Betapa tidak, sungai yang menjadi ciri khas Banjarmasin, hingga dikenal luas sebagai kota Seribu Sungai kini sebatas sebutan saja, jika tidak mendapat perhatian besar tidak hanya Pemkot Banjarmasin, namun juga semua elemen masyarakat.
Dari 102 sungai yang masih tersisa, didominasi sungai kecil yang kondisinya saat ini boleh dibilang cukup memprihatinkan.
Pemkot Banjarmasin tidak bisa dalam sekejap mengembalikan kondisi semua sungai, yang saat ini diatasnya berdiri banyak bangunan termasuk pemukiman penduduk.
Keterbatasan dana, menjadi alasan Pemkot Banjarmasin harus menempatkan skala prioritas revitalisasi maupun normalisasi sungai.
Sungai besar yang berada di jantung kota seperti Sungai Martapura dan Sungai Veteran direvitalisasi lebih awal, lantaran dana yang dialokasikan pemerintah pusat melalui Balai Sungai cukup besar.
Untuk sungai besar, revitalisasi terus berlanjut. Sejak 2007 Sungai Martapura secara bertahap sesuai anggaran yang ada mulai direvitalisasi.
Masyarakat pun bisa merasakan hasil revitalisasi yang sebenarnya masih terus berlanjut, salah satunya geliat ekonomi disepanjang siring Jalan Piere Tendean, yang saat ini menjadi ikon kota sebagai ruang publik.
Rencana besar menjadikan Banjarmasin kota sungai terbaik di Indonesia. Maka, kita tunggu realisasinya!()