Seni Ukir Banjar yang Kian Tergusur

Rumah tradisional Banjar, Bubungan Tinggi maupun jenis rumah tradisional lainnya identik dengan ukir-ukiran.

Wartawan: Rudiyanto

Ukiran pada rumah tradisional yang kini terus berkurang jumlahnya ini, kasat mata terlihat pada bagian pilis atau listplank dan mahkota di bagian atap rumah, dan diding rumah bagian depan.

Dan seiring perputaran zaman yang juga menggilas keberadaan rumah-rumah berarsitektur lawas, seni ukiran Banjar yang identik dengan desain flora ini juga kian terkikis.

Faktanya tak banyak orang yang mau dan mampu membuat ukiran di atas lembar-lembar papan ulin ini.

Mansyur, warga Desa Antasan Senor Ilir, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar mungkin satu dari kian sedikitnya Urang Banjar yang dapat memahat ukiran tradisional Banjar ini. Namun pembuatan ukiran hanya dilakukannya saban kali ada pesanan. Pun pemesan ukiran papan lisplang saat ini terus berkurang.

Dan saban kali ada pesanan, di antara riuh suara kendaraan yang hilir mudik di Jalan A Yani, itu pula, sibuk dengan aktifitasnya mengukir lembar-lembar papan ulin menngunakan pahat ukir berbentuk huruf V. Meski bising, konsentrasinya tak terpecah. Tatapan kedua matanya tak teralihkan dari ujung mata pahat sembari terus saja memukul gagang tatah, menggiring mengikuti garis pola daun yang sebelumnya ia gambar di atas papan ulin sepanjang sekitar 1,5 meter.

Dari caranya memegang dan merautkan mata pahat mengikuti garis di atas papan itu, terlihat Mansyur yang juga biasa disapa Ali ini, bukanlah seorang pemula di bidang ukir-ukiran kayu. Begitu pula dengan ukiran yang ia hasilkan. Meski bekerja di ‘bengkel’ mini, di samping kios penyedia jajanan miliknya, di pinggir Jalan A Yani itu, hasil pahatan Ali tetap bernilai estetik.

Pesanan pembuatan ukiran yang ia kerjakan, biasanya datang dari para pemilik wantilan atau pemilik usaha pembuatan kusen rumah.

Ukiran yang ia buat kebanyakan listplank atau pilis dan ventilasi rumah. Ada juga pesanan dari pemilik usaha rias pengantin untuk dekorasi pelaminan yang memang banyak menampilkan ukir-ukiran.

Tak kurang dari sepuluh tahun ini, Mansyur menekuni pekerjaan sebagai tukang pahat atau ukir kayu. Kegiatan memahat ia lakukan di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai pedagang kios klontong dan penyedia jajanan.

Dalam sehari, ia mengaku dapat menyelesaikan ukiran listplank rumah maksimal hingga 4 meter. Untuk jasa ukirnya itu, Mansyur mematok harga Rp35.000 per meter. “Dulu masih sering banyak pesanan. Tapi sekarang sudah kian jarang. Bahkan bulan lalu sama sekali tak ada pesanan ukiran yang saya kerjakan,” kata Mansyur.

Meski memiliki kemampuan memahat ukiran, ia mengaku tak pernah mempelajarinya secara akademis. Kemampuan mengukirnya ia peroleh dari hasil belajar secara otodidak kala ia masih menjadi pekerja di salah salah satu tempat pembuatan kusen yang juga menerima pembuatan ukiran untuk pintu, listplank, dan ventilasi.

“Meski dapat dipelajari, bakat tetap menjadi modal utamanya,” katanya.

Mansyur memang tak mengetahui banyak seluk beluk ukiran yang ia buat. Motif ukiran yang ia buat merupakan adopsi dari kebanyakan ukiran yang masih banyak terlihat di rumah-rumah bahari yang masih tersisa di sekitar tempat tinggalnya. Ia bahkan mengaku tak tahu banyak tentang filosopi yang ada dibalik ukiran yang dibuatnya. “Ukiran Banjar memang identik dengan bentuk daun-daunan,” katanya. ()