Tenang & Damainya Kehidupan Masyarakat Adat Meratus
Mengikuti Bupati HST ke Desa Aing Bantai Pegunungan Meratus (Bagian 1)
“Sejak dulu nenek moyang kami memang sudah berada di kawasan hutan adat ini. Bahkan hingga sekarang kami masyarakat adat tetap menjunjung hak kelola adat dan menjaga Alam ini,” terang mantan kepala Desa Aing Bantai, Sinip dalam perjalanan menuju desa.
Catatan: Adiyat, Hulu Sungai Tengah
JUM’AT (26/1) pagi hari, ratusan orang sudah berkumpul di halaman Kantor Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Tim terdiri dari TNI, Kepolisian HST, perwakilan SKPD, dan Organisasi Masyarakat (Ormas) ikut serta bersama Bupati HST berangkat ke Desa Adat Meratus di Daerah Kecamatan Batang Alai Timur (BAT). Tak ketinggalan, saya pun ikut juga berangkat mewakili Media Kalimantan.
Perjalanan sengaja dilakukan Bupati dan Aparatur Pemerintah Kabupaten HST dalam rangka bersilaturrahmi dengan masyarakat Adat (Dayak) di Pegunungan Meratus. Sekitar pukul 09.00 Wita, rombongan menuju Desa Hinas Kiri Kecamatan BAT. Dari Hinas Kiri dilanjutkan berjalan kaki menuju Batu Perahu dengan perjalanan yang sudah mulai mendaki, lantaran kultur alam di HST yang merupakan daerah Pegunungan Meratus. Meski dapat dilewati menggunakan motor trail, namun rombongan memilih berjalan kaki menuju Desa Batu Perahu.
Hampir enam jam berjalan, rombongan satu persatu sampai di tempat peristirahatan pertama di Desa Batu Perahu dan menginap di rumah warga. Perjalanan kembali dilanjutkan besok hari, menuju Desa Aing Bantai. Kali ini medan yang harus dilewati sama dengan hari pertama, mendaki. Tetapi, hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki tanpa dapat menggunakan kendaraan roda dua (trail).
Beruntung, suasana pegunungan lebih terasa, kondisi alam Meratus yang masih perawan membuat cuaca panas sekalipun tidak terasa. Dan walau lelah karena jalan mendaki dan medan yang cukup berat, pemandangan yang indah dari atas pegunungan dan perpohonan besar seperti jenis pohon Meranti tumbuh menjulang tinggi, bahkan air terjun dan sungai membuat semuanya tidak jadi masalah. Tentunya, selama perjalanan, rombongan termasuk kami wartawan, disuguhkan pemandangan yang asri.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat adat di Pegunungan Meratus, khususnya di Hulu Sungai Tengah (HST) selalu menjaga alam pegunungan. Terlebih masyarakat adat setempat memiliki perundangan untuk menjaga kawasan Hutan Adat, seperti yang tertuang dalam perundangan putusan MK/35/PUU-X/2012 dalam pengertian “Hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
“Sejak dulu nenek moyang kami memang sudah berada di kawasan hutan adat ini. Bahkan hingga sekarang kami masyarakat adat tetap menjunjung hak kelola adat dan menjaga Alam ini,” terang mantan kepala Desa Aing Bantai, Sinip dalam perjalanan menuju desa.
Ternyata, perjalanan kali ini tidak lebih mudah dari yang pertama. Setelah sampai dari puncak gunung, rombongan mulai mendapatkan medan yang menurun dan harus melewati dalamnya hutan Meratus yang masih perawan. Meski hutannya tidak terlalu ganas, namun selama perjalanan rombongan mendapat kesulitan. Bagaimana tidak, rombongan harus menyebrangi beberapa kali sungai, di tambah juga binatang seperti pacat (lintah) yang menempel di badan.
Hampir, 12 jam perjalanan melewati hutan baru sampai di desa yang di tuju. Desa Aing Bantai, merupakan Rt 1 dan memiliki 2 anak desa lainnya yakni Pasumpitan di Rt 2 dan Mangga Jaya Rt 3 yang sudah berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kotabaru. Kehidupan masyarakat Adat yang jauh dari perkotaan, namun untuk kebutuhan sehari-hari sudah tercukupi dari hasil Alam. Masyarakat bertani dengan cara berpindah-pindah huma (sawah). Ikan didapat dari sungai yang dekat dengan desa, sayur dan buah juga mudah untuk ditanam. Tidak jarang masyarakat berburu ke hutan, seperti menangkap minjangan alias Rusa.
Selain itu, masyarakat setempat juga memiliki hasil kerajinan tangan berupa bakul dan juga butah (keranjang berupa tas punggung). Berbagai motif yang berasal dari rotan dan kulit paring (bambu) yang sudah diperhalus. Biasanya, masyarakat menjual hasil kerajinan tangan ke pasar di Birayang Kecamatan BAT dengan harga Rp 100.000 hingga Rp150.000 per butah.
“Meski kami bertani di gunung, tapi kami tidak harus merusak alam. Setelah kami pindah dari satu huma ke huma yang lain, bekas huma tadi kami tanam kembali dengan berbagai macam pohon, sehingga tanah kembali subur. Setelah puluhan tahun, baru kembali ke huma pertama. Sehingga, tanpa harus merusak alam. Tidak seperti apa yang dipikirkan mereka di kota yang mengatakan kami merusak gunung, padahal selama ini kami turut menjaga hutan tersebut, dengan aturan adat yang telah ada,” tegas Sinip.
Cuaca di pegunungan yang sejuk, dan tanah tanpa gersang tersebut, menjadikan udara lebih dingin ketimbang di perkotaan. Selain itu, kebudayaan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu Kaharingan tersebut begitu kental. Seperti halnya setiap kali panen padi, tidak jarang masyarakat mengadakan aruh (upacara) ganal sebagai bentuk mensyukuri hasil alam yang sudah diperoleh. Meski hingga saat ini, tidak ada listrik ataupun alat telekomunikasi yang sampai di sana, namun kehidupan masyarakat Adat begitu tenang dan damai.()