Hanya Ada Satu Orang Guru Kontrak
Mengikuti Bupati HST ke Desa Aing Bantai Pegunungan Meratus (Bagian 2)
Di desa terpencil seperti Aing Bantai, sarana pendidikan memang sudah tersedia. Tetapi sayangnya masih jauh dari kondisi layak, baik sarana dan prasarananya. Seperti ruangan belajar, buku pelajaran, hingga guru yang menjadi pengajarnya.
Catatan: Adiyat
Desa Aing Bantai memiliki sekolah dasar (SD) dengan nama SD Datar Tarap yang merupakan cabang dari SD Hinas Kiri. Namun sayangnya, proses belajar mengajar di sana sangat terbatas karena minimnya fasilitas, termasuk pengajar. Kondisi tersebut patut menjadi perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah daerah.
Bangunan SD Datar Tarap dibangun sejak tahun 2009 menggunakan dana PNPM. Muridnya berjumlah 39 orang, dengan jumlah murid laki-laki 21 orang dan perempuan 18 orang.
Menurut salah seorang guru SD Datar Tarap, Atah, kelas 1 diisi 10 orang murid, kelas 2 hanya 5 orang, kelas 3 hanya 8 orang dan kelas 4 diisi 16 orang. SD Datar Tarap hanya memiliki 3 ruangan 2 buah ruangan untuk murid belajar sedangkan 1 lagi untuk ruangan guru.
“Sekolahan ini sempat ditutup karena gurunya tidak ada. Memang pernah ada guru yang ditugaskan di sini. Namun karena guru yang mengajar mengeluhkan jarak sehingga sempat ditutup,” cerita Atah yang warga Desa Batu Perahu.
Melihat kondisi tersebut, Atah pun berinisiatif membuka kembali proses belajar mengajar di desa tersebut.
“Baru berjalan tiga tahun ini,” ungkapnya.
Sewaktu membuka sekolahan tersebut, kenangnya, sempat dimarahi pihak Dinas Pendidikan Kabupaten HST. Namun, dengan alasan permintaan masyarakat setempat yang ingin menyekolahkan anak mereka lagi, akhirnya dibolehkan.
Atah guru tenaga kontrak di SD Datar Tarap ini lebih jauh mengungkapkan, dirinya hanya berpendidikan SLTA dengan status guru kontrak, yang digaji sekitar Rp 1.500.000 per bulan.
Bisa dibayangkan mengajar puluhan murid hanya seorang diri dengan keterbatasan ilmu pendidikan, jelas Atah kerepotan. Sehingga akhirnya dia memutuskan meminta bantuan dari 3 orang temannya dan berbagi gaji kepada 3 temannya.
“Belum lagi buku pelajaran yang harus dibeli mereka setiap kelas, itu pun harus patungan bersama rekan gurunya,” ungkapnya.
Saat ini, jumlah ruang kelas masih hanya mampu menampung hingga kelas 4 saja. Untuk tahun ajaran baru, Atah harus memikirkan bagiamana mengajar untuk murid yang akan naik kelas.
“Pernah kami mengusulkan agar anak-anak yang naik kelas, mengikuti pelajaran di SD Batu Perahu. Namun anak-anak tidak mau, lanataran jarak yang di tempuh sangat jauh,” jelasnya
Lia Rahma murid SD Datar Tarap, setiap harinya harus berjalan kurang lebih 1 jam 30 menit dari anak Desa Pasumpitan. Meski jarak cukup terbilang jauh, namun Lia bersama 6 temannya tetap ingin bersekolah.
Menurutnya, pendidikan sangat penting bagi mereka yang berada di daerah terpencil. Lia tidak mau seperti orang tuanya yang tidak bersekolah, “Meski jauh harus melewati hutan, yah, kami harus tetap bersekolah. Di Aing Bantai SD yang paling dekat dari desa kami,” tutur Lia.
Berbeda dengan warga Mangga Jaya, yang berjarak kurang lebih 6 jam perjalanan hal tersebut, membuat orang tua mereka mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Atah dan 3 rekannya berharap pemerintah juga melihat kondisi pendidikan di daerah terpencil ini, termasuk guru pengajar.
Para guru relawan SD Datar Tarap juga berharap, kalau memang tetap ditempatkan di SD tersebut, mereka bisa dibantu mendapatkan pendidikan masuk ke perguruan tinggi.
Pendidikan di daerah terpencil bukan hanya tugas dari pihak pemerintah daerah. Uluran tangan bantuan, dari masyarakat akan keterbatasan mereka sangat diperlukan, terutama bagi anak-anak yang antusias untuk menempuh pendidikan.
Selama berada di Aing Bantai, rombongan pemerintah daerah dan berbagai organisasi masyarakat, turut serta memberikan semangat kepada anak-anak untuk belajar dan sambil bermain. ()