Tebar Pluralisme Lewat Film Dokumenter

BANJARMASIN, MK- Dalam filmnya berjudul “Bulan Sabit di Kampung Naga” diceritakan, seorang keturunan konghucu sebagai pembina pesantren di Kauman Jogja. Adalah KH Muhammad Zain, seorang warga Nahdiyin.

Sutradara asal Jogja Gunawan Iskandar menyampaikan pesan keindahan kebersamaan dalam perbedaan baik dalam hal kultur budaya maupun agamanya menjadi point menarik bagi Gugun, begitu ia akrab disapa, menjadi sebuah gambar bergerak.

Film pendeknya dewasa inj telah meraih sejumlah penghargaan baik itu dari nasional maupun internasional. Saat diskusi disampaikan, sejumlah pertanyaan selalu muncul semisal mengapa, sebuah masjid memakai atribut seperti di kelengteng, ditambah lagi dengan motif naga, dinding merah dengan atap berwarna hijau.

“Karena KH Zain sebagai narasumber dalam film saya ini, benar-benar keturunan dari warga cina tiong hoa yang islam, seiring dengan berjalannya waktu menyesuaikan dengan lingkungan sekitar, dan sangat mengutamakan aspek saling menghargai di masyarakatnya. Semisal ada kematian, di kedua belah pihak saling membantu saling melawat juga,”katanya.

Sebagaimana penulis saksikan dalam film berjudul Bulan Sabit di Kampung Naga. Suasana kampung pecinan, keturunan cina yang mengelola pesantren, bahkan jalan menuju kauman pun sangat berkonsep Islam, sebuah pondok pesantren berdiri di sana sebagai pusat pembelajaran dan sarana menuntut ilmu kitab kuning para santri, yakni Pondok Pesantren Kauman.

“Pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat setempat. Tokoh masyarakat cina di lingkungan tersebut sangat segan dan senang dengan para santri san kiainya, Jalan menuju kauman, sebagaimana dalam tampilan film dikatakan, pengaruhnya besar bagi masyarakat setempat. Terutama keamanan. Kalau ada santri di pondok kaumam yang kurang ajar, pasti di sidang. Santri yang lewat di depan orangtua apa pun agama dan sukunya santun, nunduk, sangat beradab,” paparnya.

Salah seorang mahasiswa di Banjarmasin Yogi menilai film tersebut sangat bersinggungan dengan kondisi Indonesia saat ini. “Saya rasa isu demikian baik itu dari segi materi dan permasalahannya bisa ditemui di lokal kita Banjarmasin. Diharapkan ke depannya para sineas muda di Kalsel secara umum ada membuat film sejenis tentang keindahan kebersamaan dalam pluralism di tanah Banjar ini,” pungkasnya. (ananda)