Nasionalisme Sebuah Jalan
Oleh: Imam Bukhori.
Wakil Ketua Dewan Kesenian Balangan.
Acapkali kita mendengar pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Sebuah adagium yang tak begitu asing bagi telinga kita masing-masing. Konon ia adalah satu bangunan legendaris di Roma, yang sangat besar dan menjadi ikon kota itu. Bangunan super megah di zamannya itu, dilengkapi sebanyak 19 pintu. Pintu-pintu itu saling berhubungan dengan dunia luar atau jalanan.
Lalu apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari filosofi yang layak kita anggap populer itu?
Barangkali kita semua sepakat menjawab, bahwa filosofi tersebut mengajarkan kepada kita tentang spirit, atau sikap semangat yang tidak pantang menyerah dalam menggapai cita-cita, walaupun halangan menghadang di depan, namun keyakinan dalam hati tetap menyala, bahwa masih banyak jalan keluar untuk tiba pada tujuan yang mulia.
Barangkali lebih kurang demikian dalam memaknai filosofi itu.
Dan lalu, apakah filosofi itu masih kontekstual untuk kita jadikan spirit dalam menjalani hari-hari kita, yang menurut sebagian orang adalah penuh warna dan banyak tersedia jalan? Sedang sebagian lainnya barangkali justru merasakan sedikit warna, bahkan hanya punya satu pilihan warna: hitam, dan sangat sedikit sekali jalan, untuk mewakili penjelasan, tidak sedikit jumlahnya yang mereka temui hanyalah jalan buntu?
Barangkali yang lebih menarik bukan pada pembahasan kontekstual tidaknya filosofi itu. Melainkan yang justru lebih menarik untuk menjadi perbincangan adalah, kenapa musti jalan? Kenapa musti jalan yang menjadi indikator ukuran? Baik ukuran kesejahteraan, ukuran kemapanan, ukuran keimanan, ukuran kesalehan, hingga ukuran layak tidaknya seseorang itu memasuki surga Tuhan.
Bukankah ihdhinasshiraathal mustaqiim kita baca di setiap kali kita shalat? Agar kita senantiasa dibimbing Tuhan di jalan yang lurus dan beberkat? Walaupun hari-hari yang kita temui adalah sangat banyak jalan, dan menikung-nikung tajam, hingga layak kita sebut, “Tikungan iblis”. Atau kita tiba-tiba diperjumpakan sangat sedikit jalan, bahkan hanya sisakan satu-satunya jalan, yang selain berlubang-lubang bak ranjau jahanam, jua tajam-patahnya tikungan, persis jalanan tak bertuan.
Ah, soal jalan. Jadi teringat trilogi tolok ukur kesuksesan pembangunan.
Ada tiga parameter yang menentukan sukses tidaknya sebuah pembangunan, terutama di daerah pemekaran, yakni pembangunan di bidang kesehatan, pembangunan di bidang pendidikan, serta pembangunan di bidang infrastruktur.
Pemerintah daerah, terutama yang baru dimekarkan, bila sukses dalam trilogi pembangunan di tiga bidang itu, maka roda pembangunannya berhak menyandang kriteria sukses. Walaupun di sana sini masih sangat banyak menyisakan pekerjaan rumah yang tidak kalah dalam mendapatkan perlakuan prioritasnya —yang musti segera dituntaskan.
Dua bidang pembangunan yang lain, untuk episode sekarang ini lebih baik kita tangguhkan dulu dalam perbincangan. Sepertinya kita lebih asik fokus berbincang-bincang soal infrastuktur, sambil nyeruput kopi dan menghisap rokok kretek, agar ketika di tengah diskusi berlangsung, kita tak berlaku bayi tua menetek busung.
Jika kita bicara infrastruktur, maka kita ‘haram’ meninggalkan bab pembangunan jalan. Ya, pembangunan jalan sudah menjadi branding infrastruktur. Meskipun infrastruktur tidak musti jalan doang.
Namun jalan, memang sepertinya menjadi pilar utama dalam merefleksikan—suksesnya, pembangunan.
Seorang sahabat yang perwira TNI bercerita, bahwa demi meraup simpati warga Timor Timur, rezim Orba pada masa itu, merasa perlu membangun infrastruktur jalan beraspal di seluruh wilayah yang sekarang menjadi negeri jiran Timor Leste itu.
Ribuan kilometer jalanan beraspal yang dibangun, hingga sampai ke wilayah pelosok-pelosok desa. Warga masyarakat desa pedalaman seperti dimanjakan oleh ‘mercu suar’ pembangunan, melalui mulusnya aspal jalanan meteka. Mereka seperti ditantang, “Ini bukanlah era pedati ditarik sapi, akan tetapi ini era berpacu Formula 1 di tivi-tivi”.
Seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811), dalam menebarkan psy-war terhadap kemungkinan serangan Inggris, salah satu caranya dengan membangun jalan beraspal Anyer-Panarukan.
Jalan yang panjangnya mencapai seribu kilometer, membentang dari ujung timur sampai ujung barat pulau Jawa. Walaupun terbangunnya jalan itu menumbalkan ribuan nyawa pekerja, namun akses peninggalan Daendels di Jawa itu, menjadi jalur penting hingga sekarang.
Berkat tangan besinya, dalam kurun waktu tiga tahun, Daendels berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi, maupun demi kebutuhan pertahanan militer dari serangan Inggris. Dan pembangunan jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos, menjadi semacam tonggak prasasti sejarah suksesnya pembangunan yang dipimpinnya.
Sehingga sastrawan Pramoedya Ananta Toer membandingkan, pembangunan monumental jalan Anyer-Panarukan, satu level dengan pembangunan jalan Amsterdam-Paris.
“Sejak dapat dipergunakan pada 1809, telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Itu contoh, betapa jalan sangat pantas untuk ‘dikultuskan’, seperti pada masa Orba, maupun saat era Daendels sang penjajah.
Lalu di era reformasi ini, bagaimanakah sikap mainstream para reformis terhadap eksistensi mulianya fungsi jalan?
Jika seandainya ada jenis pertanyaan seperti itu, yang diajukan kepada kita, kira-kira jawaban apa yang tepat untuk kita sampaikan?
Tentu perlu adanya upaya survey dan kajian yang mendalam, menyeluruh dan intens, untuk menemukan jawaban yang proposional terhadap pertanyaan, yang sepertinya sederhana itu.
Namun kita tidak akan mampu menutup mata terhadap kondisi ‘kejujuran’ jalan, khususnya jalan raya provinsi di Kalsel. Jalan raya provinsi di Kalsel, sungguh mengajarkan kepada rakyat, wabil khusus yang jelata, tentang nilai-nilai kesabaran. Tentang nilai-nilai pengorbanan. Tentang nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan.
Era reformasi, rakyat musti banyak belajar tentang keluhuran nilai-nilai itu semua, melalui filosofi jalanan raya provinsi yang rusak binti parah. Dan itu sepertinya hanya terjadi di Kalsel.
Tidak cukup hanya rusak parahnya jalan sebagai media ‘candradimukanya’ keluhuran nilai-nilai itu. Rakyat jua musti wajib belajar terhadap soal tenggang rasa yang makin kesini, makin tergerus hangus. Maka melengganglah armada truck trailler pengangkut semen beroda 22 biji itu. Truck-truck armada pengangkut semen, yang konon sekali angkut membawa bobot angkutan minimal 70 ton semen itu, benar-benar seperti melatih tenggang rasa para warga.
Warga musti sabar, karena orang sabar dikasihi Tuhan. Tuhan kan tidak tidur to? Dan lagi, rusaknya jalan justru memberi peluang bagi warga, untuk menabung pahala. Jadi biar saja truck trailer pengangkut semen itu seperti menyukur-nyukurmu, mengejekmu, bahkan memperhinakanmu, seraya nyeletuk memanas-manasi, “Siapa yang elo mau andalin, siapa hah? Pemprov? Jajaran aparat mapolda? Mereka-mereka yang tergabung dalam lembaga legislatif atau DPRD provinsi?”.
Dan kita tetep bersikukuh bertenggang rasa.
Walaupun sudah tidak sedikit warga, yang patah kaki atau patah tangan, disebabkan bergelombang dan berlubang-lubangnya itu jalan raya provinsi, bak ranjau jahanam.
Dan lagi-lagi kita tetap bersikukuh bertenggang rasa.
Buktinya demo yang pernah digelar warga, minimal bertujuan untuk menghibur hati yang terluka. Tangan kaki boleh patah. Tapi hati jangan terluka dan patah.
Maka silakan berjalanlah wahai saudaraku armada truck trailer angkutan semen. Itu jalan negara. Meskipun jua itu jalan kami. Jika pemerintah provinsi diam, itu karena pemerintah provinsi bermaksud mulia, yakni sedang melatih rakyat tentang nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan.
Ah, betapa sangat banyak jalan menuju Roma, untuk menuju dan mewujudkan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan.[]
Kamis, 16 Februari 2017