Hak Menggapai Bahagia

ilustrator: djoen/mediakalimantan

Penulis: Almin Hatta

TAK akan ada bahagia jika perang berkecamuk di mana-mana, termasuk perang di dalam dada orang per orang yang tak pernah mensyukuri apa yang sudah dimilikinya.

PADA sebuah buku setebal 555 halaman, ada satu bab yang secara khusus membahas tentang hak asasi manusia (HAM). Bab V yang letaknya persis di tengah-tengah ini dibuka dengan sebuah ilustrasi: lima buah pot kecil yang di atasnya tertancap masing-masing setangkai bunga terbungkus plastik, dan sebuah stoples bertutup kain terikat teramat kuat yang di dalamnya tergeletak sebuah pot dengan sekuntum bunga mekar.

Kecuali di pinggir atas tertulis “Hak Asasi Manusia”, ilustrasi itu tak berisi apa-apa lagi. Bahkan ilustratornya pun tak jelas, namanya sama sekali tak dituliskan. Selebihnya adalah warna hitam yang menyiratkan kekelaman.
Meski ilustratornya tak jelas, tapi pesan yang ingin disampaikan ilustrasi itu cukup gamblang: betapa kondisi dan penegakkan HAM di negeri ini, bahkan di seantero dunia, masih teramat memprihatinkan.

Tidak cuma itu. Upaya memperjuangkan penegakkan HAM dikerdilkan sedemikian rupa. Ia tak cuma tidak diberi lahan yang memadai, tapi malah coba dimatikan. Ia tak cuma tidak diberi udara, melainkan disungkup sedemikian rupa sampai tak mampu menghirup udara yang sangat dibutuhkannya. Ia tak cuma dikungkung, tapi sekaligus dibungkam sehingga benar-benar diam.

Dan ilustrasi yang terasa mencekam itu sama sekali tak bisa dipersalahkan. Sebab, memang demikianlah kenyataannya. Memang demikianlah keberadaan HAM di seluruh penjuru dunia: sengaja tak diberi lahan yang luas dan gembur, sehingga tak bisa tumbuh subur!

Bahkan Amerika yang ngakunya pemimpin dunia pun tak segan-segan menjungkirbalikkan keberadaan HAM semaunya. Dengan dalih mengejar Usamah bin Ladin yang disebutnya sebagai biang teroris dunia, Amerika beberapa tahun lalu telah dengan teramat sadar membumihanguskan Afghanistan, yang tentu saja menyebabkan tewasnya ribuan orang tak berdosa.

Maka sekian ribu orang kehilangan istri, sekian ribu orang kehilangan suami, sekian ribu orang kehilangan sanak saudara. Dan yang paling mengenaskan, sekian ribu anak menjadi yatim-piatu dengan masa depan yang benar-benar kelabu.
Di sini, di Indonesia yang katanya negeri penuh toleransi, kondisinya tak jauh berbeda. Cuma karena perbedaan agama, orang dengan gampangnya saling bunuh antarsesama. Cuma karena dikira pencuri, seseorang bisa digebuki orang sekampung sampai mati.

Celakanya, kegiatan mematikan keberadaan HAM tak cuma dilakukan secara massal atas nama agama, suku, atau pun bangsa. Tapi sudah menjalar ke tindakan orang per orang demi memuaskan keserakahan, tanpa menghiraukan kesengsaraan banyak orang.

Lalu, di mana letak kesalahannya? Sulit memang menelusurinya. Tapi, yang jelas, setiap negara cenderung berlomba-lomba menjadi penguasa dunia. Setiap orang cenderung mengagungkan harta, sebab hampir semua orang menyangka harta adalah pangkal bahagia. Padahal, bukan di situ letaknya. Bahagia hanya akan ada jika seluruh jagad raya aman sentosa.

Maka, tak akan ada bahagia jika perang berkecamuk di mana-mana. Termasuk perang di dalam dada orang per orang yang tak pernah mensyukuri apa yang sudah dimilikinya. Padahal, hak paling hakiki dari setiap manusia adalah hidup berbahagia, tak peduli bagaimana pun kondisi perekonomiannya.***

Advertisement

No comments.

Leave a Reply