Jalan Kehidupan

ilustrator: djoen/mediakalimantan

Penulis: Almin Hatta

Tutuplah pintu besi masa lalu dan masa depan, dan hiduplah dalam detik-detik hari ini – Dr ‘Aidh al-Qarni (La’ Tahzan)

SEORANG pemuda yang hidup dalam kemiskinan teramat sangat di pedalaman Afrika, suatu ketika mengutarakan keinginannya untuk merantau ke New York, Amerika Serikat.

Mendengar itu, salah seorang temannya dengan sangat sinis mengatakan, “Ah, kau jangan kelewat panjang angan. Keinginanmu ke Amerika itu tak lebih dari sebuah impian yang tak akan pernah kesampaian.”

Tapi pemuda tadi dengan tegas menjawab, “Orang hidup harus punya impian. Kalau orang tak memiliki impian, maka percuma saja hidupnya dilanjutkan. Dan impian yang sudah lama kupendam adalah menaklukan Negeri Paman Sam,” ujarnya penuh keyakinan.

Impian pemuda Afrika itu, sebagaimana diceritakan dalam sebuah film yang kutonton selepas tengah malam beberapa hari lalu, akhirnya kesampaian. Ia tak cuma sekadar sampai di New York, tapi juga berhasil menaklukkan kota terbesar dan paling terkenal di seluruh dunia itu.

Cerita tersebut, agaknya, kembali menegaskan bahwa orang hidup perlu cita-cita, perlu angan-angan, perlu sebuah impian yang harus diperjuangan guna diraih di masa datang.

Suatu hari anak sulungku berobat ke dokter. Sebagaimana biasa, dokter itu menanyakan keluhan sakit yang dideritanya. Lalu menanyakan pula soal sekolahnya, dan kemudian ia dengan sangat serius bertanya apa cita-cita yang ingin diraih anakku itu di masa mendatang.

Ketika anakku yang kala itu baru berumur belasan tahun menjawab, “belum berpikir sampai ke sana,” dokter itu tampak kecewa. “Tak boleh begitu. Orang hidup harus punya cita-cita, harus punya impian, sehingga jelas apa yang harus diperjuangkan,” ujarnya.

Selama ini, setiap orangtua selalu mencoba memberi arahan ke mana kaki anaknya harus dilangkahkah untuk meraih masa depan. Dengan arahan tersebut, setiap anak yang berangkat remaja biasanya punya cita-cita alias impian. Para remaja di Pulau Jawa misalnya, umumnya berangan-angan untuk menaklukkan Jakarta. Sedangkan pada remaja di Pulau Kalimantan kembanyakan bercita-cita menimba ilmu pada kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jogja, Surabaya, Malang, Bogor, Bandung, dan juga Jakarta.

Kita semua pun sejak kecil selalu diajarkan untuk meraih cita-cita masa depan setinggi bintang. Maka, kebanyakan anak-anak selalu menjawab ingin menjadi dokter, menjadi gubernur, menjadi tentara, menjadi polisi, menjadi guru, dan bahkan ada yang ingin menjadi presiden, ketika ditanya apa cita-citanya.

Nah, kemarin aku tiba-tiba terbaca kalimat yang ditulis Dr ‘Aidh al-Qarni di atas. Tokoh intelektual muslim dari Arab Saudi itu dengan tegas menyatakan: Tutuplah pintu besi masa lalu dan masa depan, dan hiduplah dalam detik-detik hari ini.

Apa gerangan maksud penulis buku La’ Tahzan yang terkenal ini? Masa yang telah lewat memang tak mesti terus dikenang, apalagi jika masa silam itu penuh penderitaan. Tapi, apakah orang tak harus mematok cita-cita yang kemudian jadi impian untuk diraih pada masa akan datang?

Mestinya bagus, setidaknya boleh-boleh saja, punya cita-cita dan impian. Tapi, agaknya, Dr ‘Aidh al-Qarni ingin menegaskan bahwa kita mestinya menjalani hidup keseharian kita dengan sebaik-baiknya, tanpa harus direcoki oleh penyesalan akan masa silam yang menyakitkan ataupun angan-angan masa depan yang bisa membuat kita mabuk kepayang.***

Advertisement

No comments.

Leave a Reply