Kerja Tak Kunjung Usai

ilustrator: Djoen/mediakalimantan

Penulis: Almin Hatta

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
(Chairil Anwar)

PAGI masih berembun dan mentari belum lagi bangun dari tidurnya. Sepagi itu seorang lelaki tua sudah mengayuh sepeda yang sama tuanya dengan dirinya, menerabas dingin, melindas jalanan aspal dari sebuah desa bersahaja di pinggiran kota hingga tiba di pusat kota yang gempita.

Lelaki itu, sudah 60 tahun lebih usianya. Setua itu ia masih juga bekerja, sebagai guru honor di sebuah sekolah dasar swasta. Ia sebenarnya pensiunan guru pada sekolah dasar negeri. Tapi ia tak bisa berdiam diri, karena itu ia mencari kesibukkan untuk mengusir sepi.

“Tak enak jika selalu di rumah saja seharian,” begitu ia selalu memberikan alasan jika ditanya kenapa sudah enak menjadi pensiunan masih juga mengajar dari pagi hingga siang.

Jawaban tersebut tentu saja mencurigakan, sebab semua orang tahu bahwa dulu gaji seorang guru itu sangat memprihatinkan. Apalagi jika diingat bahwa ia cuma seorang pensiunan.

Hanya saja kecurigaan itu ternyata kurang beralasan. Soalnya, anak sulungnya kini sudah menjadi orang besar, doktor sekaligus mahaguru pada universitas ternama. Anak keduanya pun lumayan sukses, sarjana hukum dan bekerja di kantor kejaksaan.

Tapi, kenapa ia tak santai-santi saja menikmati hari tuanya? Kenapa ia tidak memelihara bunga saja di taman halaman rumahnya? “Menikmati apa? Kamu kira berdiam diri seharian itu mendatangkan bahagia? Justru sebaliknya. Orang yang biasa bekerja lalu tiba-tiba tak ada kegiaan apa-apa, itu benar-benar menyiksa. Apa, memelihara bunga? Ah, ada-ada saja. Aku ini guru! Maka kebahagiaanku adalah berada di depan kelas. Kebahagianku adalah melihat anak didikku naik kelas,” katanya.

Seorang guru yang jelas punya kebanggaan akan hasil jerih payahnya berupa murid-murid yang pintar, murid-murid yang kemudian menjadi insinyur, dokter, pilot, bankir, wartawan, pengusaha, camat, bupati, walikota, gubernur, tentara, polisi, hakim, jaksa, pengacara, menteri, dan bahkan presiden, ternyata tak pula mau berhenti begitu saja dalam bekerja atau berkarya.

“Orang yang waras itu adalah orang yang dengan sangat sadar melaksanakan dua kewajiban selama hayat masih di kandung badan. Pertama, melaksanakan ibadah sebagai bukti bahwa iman yang selalu dikatakannya bukan cuma sampai di ujung lidah. Kedua, bekerja sampai maut menjemputnya sebagai bukti bahwa ia bukan pengemis yang cuma bisa meminta dan memanjatkan do’a,” ujar guru tua itu suatu ketika.

Tapi, bukankah cukup banyak orang yang karena sudah kaya raya lalu berhenti bekerja? Sebab, untuk apalagi mereka mesti terus bekerja, nanti malah dikira serakah pula mengangkangi harta dunia yang memang tak ada habisnya?

“Ah, siapa bilang orang kaya itu berhenti bekerja. Justru orang yang kaya itu lebih berat lagi kerjanya. Ia setiap hari harus mengurus ratusan atau ribuan karyawannya. Apa itu pekerjaan mudah? Bukankah mengurus diri sendiri saja sudah sedemikian susah? Memang ia punya sejumlah bawahan, tapi kan tetap saja harus terus-menerus memberikan arahan dan pemikiran?” ujarnya di lain kesempatan.

Pejabat kan tak lagi harus bekerja jika waktu pensiunnya tiba, paling banter jalan-jalan ke sejumlah kota menikmati masa tua. “Justru itu persoalannya. Pejabat yang tadinya selalu dihormati, tak mungkin tiba-tiba menyepi atau berdiam diri. Ia harus sering pergi ke seminar atau diskusi. Sebab, jika tidak, kehormatan yang selama ini menjadi kenikmatan baginya akan segera hilang begitu saja.

Padahal, kebahagiaan seorang pejabat bukan pada kekayaan, melainkan pada kehormatan. Karena itu, meski sudah pensiun, seorang pejabat harus tetap bekerja keras untuk menjaga kehormatan yang pernah dimilikinya,” kata Pak Guru tua itu sambil tertawa.

Ah, kalau begitu kapan dong orang berhenti bekerja? “Tak pernah ada orang yang benar-benar berhenti bekerja. Yang ada cuma masa jeda, yakni ketika seseorang memahami bahwa kebahagiaan bukan terletak pada kekayaan atau kepangkatan,” ujarnya sambil mengayuh sepeda, pulang ke desa di pinggiran kota.***

Advertisement

No comments.

Leave a Reply