Penulis: Almin Hatta
SUATU ketika Harun al-Rasyid merasa sangat haus. Ia lalu menyuruh pembantunya mengambilkan segelas air. Kebetulan, saat itu penasihat utamanya, Ibnu Sammak, ada di situ, dan bertanya, “Seandainya anda dicegah minum air itu, apakah anda akan menebusnya dengan separo wilayah kerajaan anda?” Tanpa berpikir panjang, Harun menjawab, “Ya!”
Setelah Harun selesai minum, Ibnu Sammak kembali bertanya, “Jika anda kemudian dicegah mengeluarkan air (kencing) yang telah anda minum itu, apakah anda rela membayar dengan separo wilayah kerajaan anda?” Harun lagi-lagi spontan menjawab, “Ya”.
Maka, Ibnu Sammak pun berujar, “Tak ada artinya sebuah kerajaan yang nilainya tidak lebih dari segelas air.”
Cerita di atas merupakan setitik air dari lautan teladan yang terangkum dalam buku La’ Tahzan (Jangan Bersedih), karya fenomenal DR ‘Aidh al-Qarni yang disebut-sebut sebagai buku terlaris di Timur Tengah.
Kerajaan tentu identik dengan pemerintah, dan itu artinya kekuasaan. Jadi, ia bisa berupa khalifah, sultan, raja, perdana menteri, presiden. Tapi bisa pula berupa jabatan gubernur, bupati, atau walikota, yang dalam belasan tahun terakhir selalu ramai diperebutkan sejumlah orang dalam Pilkada.
Menyimak dengan saksama kisah di atas, rupanya sebuah kekuasaan pemerintahan tak lebih berharga ketimbang segelas air pelepas dahaga di saat seseorang sedang didera haus begitu rupa. Kekuasaan juga tak lebih berharga dari kesehatan kita. Sebab, sebagaimana contoh dalam cerita tadi, apalah artinya kekuasaan yang dipegang seseorang jika sekadar untuk kencing saja ia harus mengerang kesakitan?
Masalahnya kini, kenapa begitu banyak orang yang memperebutkan kekuasaan, dan bahkan tak sedikit yang rela keluar uang miliaran? Jawabannya tentulah aneka macam. Tapi, yang pasti, kekuasaan bisa dengan gampang mendatangkan miliran gelas air pelepas dahaga. Kekuasaan juga bisa membawa seseorang berobat ke mana saja.
Tapi, ada yang mesti diingat, pelepas dahaga cuma air dari gelas pertama. Sedangkan minum bergelas-gelas justru dilakukan orang yang sedang gamang, sampai kemudian mabuk dan hilang ingatan. Artinya, dengan kekuasaan dalam genggaman, orang bisa dengan gampang mabuk kepayang.
Agaknya, karena itulah Abdul Malik pernah berkeluh-kesah, “Seandainya aku tidak pernah memangku jabatan khalifah…..” ***