Syair Politik

ilustrator: djoen/mediakalimantan

Penulis: Almin Hatta

Bila kamu memegang satu urusan negara; Bina dirimu sebagai pembakti yang bijaksana; Karena masamu tak akan bertahan selamanya; Kamu akan berlalu dan meninggalkannya….

SEORANG Gubernur, beberapa tahun lalu, tiba-tiba dipecat. Kepala daerah yang biasanya bicara ketus itu pun mendadak berubah menjadi penyair yang teramat perasa. Seperti remaja yang sedang putus cinta, ia bersyair penuh nelangsa.

Wahai hati yang tertutup; Berkenan kiranya untuk terbuka; Bersatu kembali dalam kerjasama; demi bangsa dan negara. Mudah-mudahan beliau-beliau maras kasihan dengan hamba, yang sedang berusaha membangun banua; Bersatu padu dalam cita, akhiri “bacakut papadaan” yang tiada guna. Untuk apa…

Adakah bait-bait syair yang ditulisnya pada satu tengah malam dalam sebuah kamar hotel mewah di Jakarta itu dapat menyentuh rasa sebagian besar masyarakat yang sudah kadung kecewa berat kepadanya?

Entahlah, sulit menjawabnya, sebab rasa tiap orang tak bisa diraba. Saya sendiri kala itu tiba-tiba teringat sebuah kisah di zaman Khalifah Al Makmun yang dirangkum Ahmad Najih dalam bukunya bertajuk “50 Kisah Nyata”. Dikisahkan, suatu hari seseorang terlihat mencoret-coret tembok istana Al Makmun. Tapi, rupanya, itu bukan sekadar coretan biasa. Melainkan sebuah larik syair yang teramat menyindir dan berbau politik. Bunyinya: Wahai istana yang megah dipenuhi celaan dan gelisah; Bilakah engkau ciptakan suasana bahagia pada setiap ruangan; Di hari engkau wujudkan dalamnya kegembiraanku; Akulah orang pertama yang memberitakan hal-hal yang meruntuhkanmu.

Demi membaca syair yang penuh nada pemberontakan dan provokasi itu, Al Makmun serta-merta memerintahkan pengawal untuk menggiring penyair jalanan lancang tersebut ke hadapannya.

Maka terjadilah diolog antara Khalifah Al Makmun dengan salah seorang rakyatnya itu. “Apa gerangan yang membuat engkau menulis syair begitu rupa?” tanya Sang Khalifah.

“Wahai Amirul Mukminin, kiranya cukup jelas bagi tuan kemewahan yang mengelilingi istana ini. Harta bertumpuk, makanan dan minuman yang lezat-lezat, perabotan megah, serta para wanita dan pengawal. Aku berjalan di depannya, namun dalam keadaan lapar dan dahaga. Dengan kelaparanku ini, tak ada artinya sama sekali kemegahan istana ini. Bila istana ini runtuh, aku tak merasakan rugi sedikit pun,” jawab si penyair yang tak dikenal namanya itu.

Mendengar itu, Khalifah Al Makmun tiba-tiba teringat syair seorang pengembara yang sudah lama dilupakannya: Jika pada sebuah kerajaan tidak dirasakan orang kebahagiaan; Pasti dia akan menciptakan kehancurannya; Tidak akan penyedihkan bencana yang menimpanya; Selain mengharapkan pergantian dari keadaan yang menyedihkan itu.

Setelah itu Khalifah Al Makmun memberikan uang seribu dirham kepada sang penyair, sambil berujar, “Anda akan dapat seperti ini setiap tahun, selama istana ini masih ramai dan rakyat tetap gembira dengan negaranya.”

Penyiar itu menerima pemberian khalifah, dan berlalu sambil bersyair begini: Bila kamu memegang satu urusan negara; Bina dirimu sebagai pembakti yang bijaksana; Karena masamu tak akan bertahan selamanya; Kamu akan berlalu dan meninggalkannya….

Khalifah Al Makmun membiarkan penyair itu pergi entah ke mana. Ia sendiri kemudian berjanji untuk bersungguh-sungguh memimpin negerinya secara adil dan bijaksana. Al Makmun juga berjanji akan melupakan kepentingan diri pribadi serta keluarganya, dan mendahulukan kesejahteraan bagi segenap rakyanya.***

Advertisement

No comments.

Leave a Reply