Habib Hasan bin Ahmad Baharun (Bagian Terakhir)
PADA tahun 1966, Habib Hasan bin Ahmad Baharun merantau ke Pontianak dan mulai berdakwah dari satu desa ke desa yang lainnya.
Uniknya, selama berdakwah ia selalu membawa seperangkat pengeras suara agar tidak merepotkan masyarakat dan kebetulan saat itu alat pengeras suara masih sangat langka. Ia juga membawa tabir (kain pemisah) untuk menghindari terjadinya ikhtilat (pencampuran) antara laki-laki dan perempuan dalam setiap pertemuan yang ia selenggarakan.
Selain berdakwah, Habib Hasan aktif di partai Nahdlatul Ulama. Ia dikenal sebagai juru kampanye (jurkam) yang berani dan tegas dalam menyampaikan kebenaran.
Sehingga, ia sempat diperiksa dan ditahan oleh aparat keamanan. Pada saat itu, masyarakat akan melakukan demostrasi besar-besaran apabila tidak dikeluarkan. Atas jaminan dan bantuan salah satu pamannya, akhirnya Habib Hasan dibebaskan.
Sekitar tahun 1970, atas permintaan dan perintah dari ibunya ia pulang ke Madura. Namun, ia masih sempat berdakwah ke Pontianak dan mengajar bahasa arab di Pesantren Gondanglegi (Malang). Selain itu, ia juga mengajar di pondok pesantren Sidogiri (Pasuruan), Salafiyah Asy-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), Langitan (Tuban) dan lain-lain.
Dari hubungan dengan yang harmonis dengan berbagai pondok pesantren yang ada di Jawa Timur di atas, ini yang memudahkan Habib Hasan bin Ahmad Baharun mendirikan pesantren tepatnya tahun 1982. Awalnya ada 6 orang santri yang belajar di rumah sewa di Kota Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Dengan sarana dan prasarana yang sangat sederhana para santri tersebut dibina langsung olehnya dan Habib Ahmad As-Saqqaf. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1983 membuka atau menerima santri putri yang berjumlah 16 orang yang bertempat di daerah yang sama. Keadaan (tempat pondok pesantren) terus berpindah-pindah tempat dan sampai 11 kali kontrak rumah hingga tahun 1984.
Dengan jumlah santri yang terus berkembang serta tempat (rumah sewa) tidak dapat menampung jumlah santri, maka pada tahun 1985 Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah pindah ke sebuah desa yang masih jarang penduduknya dan belum ada sarana listrik, tepatnya di Desa Raci, Kecamatan Bangil.
Jumlah santri pada waktu itu sebanyak 186 orang santri yang terdiri dari 142 orang santri putra dan 48 orang santri putri.
Setelah Ustad Hasan bin Ahmad Baharun wafat pada 8 Shafar 1420 H atau 23 Mei 1999, pondok ini kemudian disasuh oleh salah satu anaknya, yakni Habib Zain bin Hasan bin Ahmad Baharun yang merupakan murid asuhan Almarhum Buya Habib Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Abbas al-Maliki.
Hingga saat ini lahan yang ada telah mencapai kurang lebih 4 Ha dan telah hampir terisi penuh oleh bangunan sarana pendidikan dan asrama santri dengan jumlah santri sekitar 1500 yang berasal dari 30 propinsi di Indonesia, negara-negara Asia Tenggara dan Saudi Arabia.
Santri-santri dibina oleh tidak kurang 100 orang guru dengan lulusan/alumni dalam dan luar negeri. Ditambah dengan pembantu yang diikutkan belajar sebanyak sekitar 95 orang.(bulkini/bbs)