Sejarah untuk orang-orang besar

Table of Contents

APASIH HER-STORY

‘For 4,000 years, men have defined culture by looking at the activities of other men. Give us another 4,000 years and we’ll talk about mainstreaming.-Gerda Lerner-””

Sejarah untuk orang-orang besar? Teori ini muncul pada abad ke-19 dimana sebagian besar penulisan sejarah disebabkan oleh dampak dari “orang-orang besar” atau “pahlawan” sebagai orang yang sangat berpengaruh karena mempunyai kharisma, kecerdasan, kebijaksanaan, serta kekuasaan yang mampu menentukan sejarah. Teori sejarah untuk Great Man ini dipopulerkan oleh Thomas Carlyle sempat di counter oleh Herbert Spencer dengan pernyataan bahwa laki-laki yang begitu besar adalah produk dari masyarakat mereka, dan bahwa tindakan mereka tidak mungkin tanpa kondisi sosial yang dibangun sebelum masa hidup mereka. Teori ini biasanya kontras dengan teori yang berbicara tentang peristiwa yang terjadi dalam kesempurnaan waktu. Pendekatan sejarah orang-orang besar ini memang popular bagi sejarawan di abad ke-19 yang banyak berisi biografi yang panjang dan rinci tentang orang-orang besar dalam sejarah, tapi sangat sedikit sejarah umum atau sosial.

Sehingga kemudian berkembanglah sejarah mengenai perempuan yang mampu menempati tempat tersendiri dalam Historiografi mulai tahun 1960-an. Sejarah perempuan mencakup studi mengenai peran yang dimainkan perempuan dalam sejarah. Karena selama ini dalam penulisan sejarah setidaknya telah mengabaikan atau juga meminimalkan kontribusi perempuan serta efeknya dalam suatu peristiwa sejarah. Penulisan sejarah mengenai perempuan atau feminism ini dapat menjadi suatu tantangan serta mampu memperluas consensus mengenai penulisan sejarah.

Jane Purvis, seorang sejarawan feminist mengungkapkan bahwa sejarah ditulis terutama oleh kaum laki-laki hanya menyangkut tentang kegiatan laki-laki dalam masyarakat dalam beberapa lingkup bahasan seperti: perang, politik, diplomasi dan administrasi. Perempuan biasanya dikeluarkan, disebutkan, dan biasanya digambarkan dalam peran stereotip seks , seperti istri, ibu, anak perempuan dan gundik. Jadi, apakah sejarah adalah nilai-sarat dalam hal apa yang dianggap historis ‘layak’?
Beberapa penelitian baru-baru ini mengenai sejarah perempuan kebanyakan telah mengambil pendekatan biografi, tetapi muncul pula isu lain telah menarik penulisan sejarah mengenai perempuan pada wawasan seperti pekerjaan, keluarga, agama, kejahatan, dan gambaran perempuan.

Gerda Lerner

merupakan salah satu pioneer dalam penulisan sejarah mengenai perempuan. Dia telah menerbitkan dua volume buku. Volume pertama mengenai penciptaan patriarki dan volume kedua mengenai penciptaan kesadaran feminisme pada Abad Pertengahan. Salah satu pernyataan Gerda Lerner mengenai penulisan sejarah perempuan yang fenomenal adalah “Selama 4000 tahun, kaum laki-laki telah mendefinisikan dan mendeskripsikan budaya dengan melihat aktivitas laki-laki yang lain. Gerda Lerner sendiri mendapat predikat sebagai godmother bagi penulisan sejarah perempuan.

Berbicara mengenai sejarah perempuan pastilah tidak lepas dari hak kesetaraan gender, pekerjaan, seks, fashion busana, status dalam masyarakat, dan keagamaan. budaya patriarki setidaknya membatasi pergerakan perempuan dalam berbagai bidang utamanya pemerintahan, keagamaan, serta status sosial.

Susan Blackburn seorang sejarawan yang dalam tulisannya Winning the Vote for Women in Indonesia mengungkapkan bahwa hak memberikan suara (vote) bagi perempuan pribumi baru diperjuangkan tahun 1905. Hak suara hanya diperoleh oleh kaum laki-laki yang bias membaca dan menulis dengan presentase lebih dari 80 %, untuk pria pribumu mempunyai hak suara sebesar 11%, sedangkan untuk perempuan hanya 2%. Hal tesebut kemudian mendorong Dutch Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (Asosiasi Hak Pilih untuk Perempuan) yang didirikan tahun 1894 di Belanda untuk memperjuangkan hak suara bagi kaum perempuan di wilayah koloni. Pada tahun 1918 Hindia Belanda baru membentuk dewan perwakilan rakyat disebut Volksraad, yang masih belum memberikan hak suara bagi perempuan dalam voting. Pada tahun 1935, pemerintah kolonial menggunakan kekuatannya untuk menunjuk seorang wanita Eropa untuk menjadi anggota Volksraad. Pada tahun 1938, pemerintah baru memperkenalkan hak perempuan untuk terpilih menjadi lembaga perwakilan perkotaan, yang mengakibatkan beberapa wanita Indonesia dan Eropa dapat menduduki jabatan dalam dewan kota