Teori Nasionalisme
Negara adalah
Cermin masyarakatnya. Apa pun yang terjadi dalam atau pada negara atau apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh negara akan secara otomatis mengena pada rakyatnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara menempati posisi yang sangat penting dan memainkan peran yang menentukan dalam pengaturan kehidupan dan kegiatan bersama yang terjadi di wilayah atau teritori yang berada di bawah otoritasnya. Bila sebuah negara mempunyai organisasi pemerintahan yang bersih, efektif, dan penuh semangat pelayanan maka rakyat akan merasa tenteram dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dan kehidupan dalam masyarakat akan berjalan dengan aman dan baik. Namun, ketika negara dengan aparat pemerintahnya yang korup, tidak efektif dan tidak mampu lagi memberikan pelayanan yang baik dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, bagaimana masyarakat.
Mengidentifikasikan diri terhadap masyarakat yang berada di luar negaranya ?
Ada banyak pandangan tentang pengertian dan asal-usul nasionalisme. Berikut ini dikemukakan beberapa corak yang dipandang perlu. Dalam arti yang paling sederhana, Gooch menegaskan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran diri suatu bangsa.[1] la telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18,[2] sedangkan dalam arti umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender, dan Iain-lain.
Konsep nasionalisme bersifat ambivalen
Sebagai kekuatan konservatif dan sekaligus sebagai faktor revolusioner.[4] Dilihat dari perspektif lain, nasionalisme merupakan tanggapan terhadap kekuatan yang datang dari Barat,[5] terutama rakyat yang merasa dirugikan secara budaya.[6] Sejarah Eropa sendiri sejak Revolusi Perancis adalah sejarah timbul dan berkembangnya nasionalisme politik.[7] Ini bukan berarti bahwa di Asia belum ada bangsa dan kesadaran kebangsaan. Di dalam ajaran Buddha, Islam, dan Hindu telah terdapat unsur bangsa.
Menurut Kedourie nasionalisme adalah
Doktrin yang berpretensi untuk memberikan satu kriteria dalam menentukan unit penduduk yang ingin menikmati satu pemerintahan eksklusif bagi dirinya, untuk melegitimasi pelaksanaan kekuasaan dalam negara, dan untuk memberikan hak mengorganisasikan suatu masyarakat negara. Dengan kata lain, doktrin ini beranggapan bahwa secara alamiah, komunitas dibagi menjadi bangsa-bangsa, bahwa bangsa dikenal mempunyai karakteristik khusus yang dapat ditentukan; dan bahwa corak pemerintahan yang sah hanyalah self-government.[9] Cakupan definisi ini dapat dibandingkan dengan yang disajikan oleh Nagengast. Bangsa dan nasionalisme, demikian menurut Nagengast, adalah istilah modernitas yang ada di Eropa dan Amerika Utara. la diturunkan dari alam pencerahan kondisi rasionalisme, perluasan penjajahan, peperangan agama, dan kapitalisme liberal yang berfungsi sebagai pembenaran politik dan legitimasi politik untuk konsep penyatuan teritorial, politik, dan budaya yang dipaksakan oleh hegemoni pemikiran dan organisasi liberal.
Di lain pihak, Smith berpendapat bahwa nasionalisme adalah satu gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individuality bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja,[11] sedangkan menurut Minogue, nasionalisme merupakan gerakan politik untuk memperoleh dan mempertahankan integritas politik, yakni gerakan politik yang didasarkan pada perasaan tidak puas sekelompok orang menentang orang asing.[12] Dengan cara pandang demikian, Smith mengidentifikasi adanya dua jalan menuju nasionalisme. Pertama, route gradualis: patriotisme negara, kolonisasi, dan provinsialisme. Kedua, “route” nasionalis: nasionalisme etnis, nasionalisme teritorial, mobilisasi, komunitas yang berbudaya dan surrogate agama.
Berbeda dengan pandangan banyak pengamat yang menganggap nasionalisme adalah gejala politik, Plamenatz justru meletakkan nasionalisme dalam kerangka budaya, walaupun ia sering mengambil bentuk politik. Kecuali itu, nasionalisme terkait dengan, tetapi berbeda dari patriotisme dan kesadaran nasional, bahkan bertolak belakang dengan patriotisme.
Pandangan lain diutarakan oleh Snyder, bahwa nasionalisme merupakan satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan rakyat sejak Revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu.[15] Atau seperti dikemukakan Gellner, nasionalisme terutama merupakan satu prinsip politik, yakni teori legitimasi politik yang memerlukan batas etnis yang tidak melintasi politik. Dengan kata Iain, nasionalisme adalah satu perjuangan untuk membuat budaya dan “kepolitikan” menjadi bersesuaian. Lebih dari itu, nasionalisme adalah pemaksaan umum satu budaya tinggi kehidupan masyarakat, di mana budaya rendah sebelumnya telah mengang-kat kehidupan mayoritas dan dalam bebera-pa kasus keseluruhan penduduk.[16]
Carlton J. Hayes, seperti dikutip Snyder, membedakan empat arti nasionalisme:
a. Sebagai satu proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern.
b. Sebagai satu teori, prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual.
c. Nasionalisme menaruh kepedulian terhadap kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu, pengga-bungan proses historis dan satu teori politik.
d. Sebagai satu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.[17]
Gagasan yang terkait dengan nasionalitas ini meliputi kepribadian dan karakter nasional, kedaulatan dan self-determinasi nasional, misi dan tanggung jawab nasional.
Arti penting nasionalisme menurut Mazzini, adalah sebagai jembatan persaudaraan manusia,[19] yang di dalamnya terkandung revolusi sosial, intelektual, dan moral.[20] Dan dalam era kolonial, nasionalisme mempunyai akar demokratis dibandingkan dengan negara yang tidak terjajah.[21] Kecuali itu, nasionalisme merupakan satu ideologi untuk generasi muda. Menurut sudut pandang ilmuwan sosial dapat digolongkan menjadi dua sudut peninjauan, yakni secara objektif dan secara subjektif.
Jika ditinjau secara objektif maka nasionalisme dikaitkan
Dengan suatu kenyataan objektif. Sebagai faktor objektif yang paling jelas dan lazim dikemukakan, misalnya aspek atau faktor ras, bahasa, agama, peradaban (seperti apa yang dikemukakan oleh para sarjana Anglo Saxon disebut sebagai “Civilization”), wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Meskipun demikian, pandangan seperti ini senantiasa tidak terlepas dari kritikan, mereka berpendapat bahwa nasionalisme tidak selalu ditentukan faktor objektif semata-mata. Bahwa agama, ras, dan peradaban, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme itu. Sebagai contoh, kita ambil misalnya faktor bahasa, sebagai faktor objektif. Bangsa Swiss, merupakan salah satu suku bangsa yang tertua di Eropa dengan menggunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Rhacto-Romantik. Bangsa Kanada, menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Agamapun, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme dari sebuah bangsa itu. Lihat saja misalnya bangsa Kanada yang terpisah ke dalam dua suku bangsa, yakni yang masing-masing beragama Protestan dan Katolik. Di Indonesia, juga dikenal sebagai bangsa yang mengalami hal serupa, yakni sebagai bangsa yang memiliki multiagama.
Sumber : https://blog.dcc.ac.id/bpupki-sejarah-anggota-tugas-dan-pembentukannya/