doktrin pokok aliran murjiah

Latar Belakang Kemumculan Murji’ah

Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah diperkirakan lahir bersama dengan kemumculan Syi’ah dan Khawarij yang pada saat itu merupakan musuh berat Khawarij.

Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja,

yang merupakan basis doktrin murji’ah. Muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang di perlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib. Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiya dalam sebuah surat pendeknya menunjukan sikap politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Utsman, Ali dan Zubair.” Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Kemudian Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan Para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Utsman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang sekelompok sahabat yang kemudian di sebut murji’ah. Yang mengatakan bahwa perbuatan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT, apakah mengampuninya atau tidak.


Sumber: https://voi.co.id/jasa-penulis-artikel/