Revisi Kuota Jalur Prestasi Dinilai Rugikan Siswa Miskin
Setelah terjadi pro kontra di masyarakat terkait proses penerimaan peserta didik baru (PPDB),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akhirnya memutuskan untuk merevisi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru(PPDB). Jalur prestasi yang memiliki kuota 5% akan ditingkatkan pada kisaran 5%-15%.
Direktur Executive Center of Education Regulations and Development Analysis (CERDAS), Indra Charismiadji mengatakan, revisi kuota untuk jalur prestasi ini akan merugikan anak dari keluarga miskin. Sebab, kesempatan anak tersebut untuk bersekolah semakin berkurang. Indra juga menilai revisi tersebut sebagai bagian dari politik.
“Ini masih terkait dengan politik karena banyak yag protes sehingga anak-anak miskin jadi korban lagi,” kata Indra kepada SP, Jumat (21/6).
Perlu diketahui berdasarkan pantauan Tim Inspektorat Jenderal Kemdikbud, protes jalur prestasi di lapangan kebanyakan dari orang tua yang tinggal lintas zonasi. Mereka ingin anaknya mendapat pendidikan di sekolah berlabel favorit di luar zonanya.
Indra menyebutkan, adanya kebijakan zonasi ini mempercepat peningkatan angka partisipasi murni (APM) yang kenaikannya dalam lima tahun terakhir ini kurang dari 1%. Padahal, sudah ada alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan program Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Menurut Indra, permasalahan APM tidak meningkat karena sekolah negeri yang gratis didominasi oleh anak-anak dari keluarga menengah atas. Sebab sebelumnya, persyaratan PPDB adalah berdasarkan capaian nilai tertinggi.
“Otomatis anak-anak orang kaya yang punya kesempatan lebih luas. M
ereka bisa ikut bimbingan belajar, bisa beli buku, hingga bisa kasih gratifikasi. Sehingga di sekolah-sekolah negeri ini anaknya sudah pintar-pintar karena kaya,” ujarnya.
Sedangkan siswa dari golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah justru harus bersekolah di sekolah berbayar atau swasta bahkan tidak sekolah sama sekali juga sangat memprihatinkan mutunya.
“Mereka harus hidup dengan dana BOS saja padahal Kemdikbud sudah berhitung
bahwa dana BOS tidak mencukupi dalam membiayai kegiatan pendidikan, oleh sebab itu disebut bantuan. Di sekolah-sekolah inilah kita akan menemui guru-guru yang penghasilannya minim yang didukung oleh sarana dan prasarana yang sangat minim pula. Keadaan ini sedikit banyak berkontribusi pada rendahnya mutu pendidikan Indonesia,” paparnya.
Indra menyebut, kondisi ini membuat mutu pendidikan Indonesia menurun. Hal tersebut terlihat dari berbagai hasil penelitian internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). Di situ, Indonesia berada di urutan 62 dari 70 negara. Seperti diketahui, PISA mengukur tiga kemampuan yakni matematika, sains dan membaca bagi siswa berusia 15 tahun.
Sumber :
http://riskyeka.web.ugm.ac.id/sejarah-rajapatih-makasar-kebo-parud/